Gardunesia.com - Koordinator Bersihkan Indonesia, Ahmad Ashov Birry menilai pemerintah tidak menunjukkan sikap yang tegas. Karena menurutnya, di tengah urgensi perlunya transisi menuju energi bersih, justru pemerintah mau mencoba mempertahankan keberadaan energi yang secara nyata sudah memberikan dampak negatif pada bumi maupun masyarakat.
"Urgensi dalam bertransisi energi jangan sampai disalah gunakan. Karena dampak krisisnya semakin meningkat bagi lingkungan dan masyarakat," ujar Ashov dalam pernyataan aspirasi bersama untuk Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan, Kamis (19/5/2022).
Karena itu menurutnya, Indonesia perlu untuk keluar dari krisis dan dampak krisis yang semakin meningkat. "Yakni, dimana saat ini kita berada dalam titik yang tidak memungkinkan adanya kesalahan sedikit pun," tambahnya.
Menurutnya, Indonesia tidak boleh terkunci pada jalan dimana karbon masih akan meninggi. Karena, laporan United Nations (UN) terbaru menunjukkan tidak cukup hanya berhenti membangun instalasi energi fosil, tapi juga perlu dilakukan penutupan pada instalasi yang ada saat ini.
"Urgensi ini seharusnya dijawab oleh pemerintah dengan kebijakan yang terang dan jelas mendukung energi terbarukan menuju energi Indonesia yang adil dan berkelanjutan. Ini merupakan momen penentu. Tapi kalau kita lihat RUU EBT ini dari awal sudah menimbulkan ganjalan," tukas Ashov.
Ganjalan tersebut yang pertama, menurutnya, adalah term 'baru' yang disisipkan pada RUU Energi Terbarukan memberikan celah pada teknologi yang menurut Bersihkan Indonesia, tidak berkelanjutan.

Sebagai contoh kasus, sebut dia, Indonesia ingin keluar dari batubara karena termasuk energi yang paling kotor dan sudah harus dihentikan. Dampaknya pada bumi dan masyarakat sudah sangat besar.
Maka itu Ashov berharap pemerintah memutuskan untuk meninggalkan batubara dan beralih ke energi yang terbarukan.